Sukses

HEADLINE: Richard Eliezer Divonis 1 Tahun 6 Bulan, Setimpal untuk Sang Justice Collaborator?

Putusan majelis hakim yang memvonis 1,5 tahun terhadap Richard Eliezer menuai respons ragam. Publik menganggap putusan itu terlalu ekstrem. Apakah hukuman itu sudah setimpal untuk sang justice collaborator?

Liputan6.com, Jakarta - Wajah Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E menangis haru saat mendengar majelis hakim memutuskan perkaranya terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Dalam putusan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Bharada E dengan hukuman 1 tahun 6 bulan.

Majelis hakim menilai Bharada E dinyatakan terbukti bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana. Bharada E disebut melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Richard Eliezer telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Rabu (15/2/2023).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer berupa pidana 1,5 tahun penjara,” imbuhnya.

Suasana di PN Jaksel pun riuh usai Ketua Majelis Hakim PN Jaksel Wahyu Iman Santoso menutup persidangan. Massa simpatisan yang berjubel di dalam maupun ruang sidang, bersorak sorai meluapkan kegembiraannya atas vonis hakim itu. Tak sedikit dari mereka yang langsung menghampiri penasihat hukum Bharada E, Ronny Talapessy. Bahkan akibat ulah simpatisan Bharada E itu, Ronny sempat ingin terjungkal akibat terkena kursi panjang di ruang tunggu.

"Bang Ronny, terimakasih Bang Ronny," teriak simpatisan.

Putusan majelis hakim di bawah tuntutan jaksa itu sudah diprediksi Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, keputusan tersebut sangat revolusioner dengan pertimbangan-pertimbangan yang diyakini majelis hakim.

"Bahwa hukumannya di bawah tuntutan jaksa, saya sudah memprediksi itu. Tapi perkiraan saya adalah separuhnya atau ditambah sedikit, 5-6 tahun, tapi ternyata satu setengah tahun. Ini sangat revolusioner lah pertimbangannya," ujar dia saat wawancara dengan Liputan 6 SCTV, Rabu (15/3/2023).

Dia memaparkan, vonis satu setengah tahun kepada Richard lantaran hakim menumpahkan semua hukumannya kepada sang aktor intelektual kasus pembunuhan berencana Brigadir J, yaitu Ferdy Sambo yang divonis mati. Sementara istrinya, Putri Candrawathi dihukum 20 tahun, dua kali lipat lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang menuntutnya delapan tahun penjara.

"Kenapa bisa di bawah tuntutan jaksa, karena melihat dari hukuman yang dijatuhkan pada orang-orang yang memerintah, orang-orang yang bertanggung jawab dalam tidak pidana ini, yaitu FS dan PC. FS dengan hukuman yang paling maksimal, yaitu mati, 20 Tahun bagi PC itu hukuman yang paling berat menurut saya. Di situ terlihat hakim mencoba mengambil alih semua kesalahan orang yang ada di bawahnya dibebankan kepada orang yang memerintah, dalam hal ini Sambo dan istrinya," terang dia.

Bahkan Fickar beranggapan, Richard Eliezer atau Bharada E bisa saja terlepas dari hukuman jika usianya di bawah 12 tahun. Namun umur yang terbilang dewasa, terdakwa Bharada E harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Karena itu untuk melepaskannya juga agak sulit. Karena dia, orang dewasa. Kalau RE ini di bawah 12 tahun, bisa lepas. Karena dianggap belum dewasa. Karena ini orang dewasa yang juga bisa berpikir, sebenarnya tapi tetap dipersalahkan. Karena itu kemudian diberikan hukuman yang cukup rendah yaitu, 1,5 tahun," kata dia.

Dia memaparkan, momen ini menjadi yurisprudensi yang bagus. Fickar melihat bahwa Pasal 50 KUHP menjadi kunci dalam putusan tersebut.

"Sebenarnya kalau mengacu pada peradilan militer, yang dipakai itu Pasal 50 KUHP. Setiap ada anak buah melakukan kesalahan itu yang dihukum komandannya. Karena dianggap, komandan bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buahnya. Kalau di peradilan militer tidak aneh. Tetapi di masyarakat luas, saya kira ini sesuatu yang tidak baru, tetapi ini sesuatu yang mengisi dahaga rasa keadilan di masyarakat," katanya.

Untuk itu, Ia mengajak para penegak hukum untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran. Yang mana Ia berharap aparatur negara untuk lebih jernih dalam melihat suatu permasalahan hukum. "Siapa sebenarnya yang bersalah dan siapa sebenarnya yang paling berperan dalam satu peristiwa pidana," katanya.

Namun terlepas dari itu, Ia sangat mengapresiasi majelis hakim yang berani mengambil keputusan ini. Selain itu, perhatian masyarakat luas terhadap kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini juga tak kalah penting perannya.

"Saya kira keberanian hakim dalam mengambil keputusan, harus kita acungi jempol. Di lain pihak, saya kira perhatian masyarakat yang begitu besar ini juga ada perannya. Sehingga hakimnya tidak main-main," ucapnya.

Sebab sebelum sidang putusan terhadap Ferdy Sambo Cs berlangsung, disebutkan ada seorang perwira tinggi yang diduga melakukan gerakan bawah tanah untuk mempengaruhi vonis terhadap mantan Kadiv Propam Polri tersebut. Hal itu sempat diungkapkan Menko Polhukam Mahfud Md.

"Mungkin pernah ada angin yang lewat. Maksud saya seperti Pak Mahfud bilang ada kekuatan besar di luar yang menekan dalam kaitan hukuman yang akan dijatuhkan kepada FS dan PC. Tapi kekuatan perhatian masyarakat ini saya kira sudah mengubah paradigma itu, bahwa peradilan kita masih dipengaruhi oleh banyak tangan yang tidak terlihat, dipengaruhi banyak faktor, iya. Tapi ini tadi, perhatian masyarakat membantu membersihkan dunia peradilan kita sehingga hakim menjadi berani memutus sesuai dengan hati nuraninya, sesuai dengan keyakinannya," dia menerangkan.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md yang menyaksikan langsung sidang vonis Richard Eliezer atau Bharada E mengaku bersyukur saat mendengar majelis hakim yang memvonis Richard Eliezer selama 1 tahun 6 bulan dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua.

"Alhamdulillah, saya tidak tahu mengapa hati saya bergembira dan bersyukur setelah membaca vonis hakim atas Eliezer," kata Mahfud dalam keterangan persnya di Youtube Kemenko Polhukam, Rabu (15/2/2023).

Dalam video di Youtube, Mahfud bahkan bertepuk tangan saat hakim membacakan vonis untuk Richard Eliezer. Dia menilai majelis hakim memiliki keberanian dan bersikap obyektif dalam membaca fakta-fakta di persidangan.

"Saya melihat hakim itu punya keberanian, hakim itu objektif membaca seluruh fakta persidangan dan dibacakan semua. Yang mendukung Eliezer semua dibaca," ujarnya.

Mahfud menilai majelis hakim juga mendengarkan suara-suara masyarakat terkait kasus pembunuhan Brigadir J. Dia juga mengapresiasi majelis hakim yang tak terpengaruh dan logis dalam membuat keputusan.

"Suara-suara masyarakat didengarkan, rongrongan yang mungkin ada untuk membuat putusan tertentu tidak berpengaruh kepada hakim. Sehingga dia saya lihat putusannya menjadi sangat logis," jelasnya.

"Tentu menurut saya berkemanusiaan, ngerti denyut-denyut kehidupan masyarakat kemudian progresif juga," sambung Mahfud.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai hakim telah sangat bijaksana dan menjaga keseimbangan antara perbuatan dalam memutuskan lama pemidanaan bagi Bharada E mengingat kedudukan dan fungsi Bharada E yang bekerja sama dalam membongkar kejahatan ini. Richard juga belum pernah dihukum, keterangan tidak berbelit, terdakwa sopan di persidangan dan kooperatif, serta menyesali perbuatan dan telah dimaafkan keluarga korban.

"Karena peran utama Bharada E ini semua ini dapat terbongkar yang dibantu teriakan publik yang bersatu setelah keluarga Brigadir J melihat ada kejanggalan foto-foto jenazah Yosua," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (15/2/2023).

Termasuk proses persidangan sampai putusan ini bisa berjalan. Sebab peran utama Bharada E yang telah mampu memberi keterangan berkesesuaian dan relevan dengan bukti dan saksi yang tersisa dan yang mau komitmen. "Bharada E dihadapkan dengan keadaan dimana buktinya direkayasa dan saksi kunci yang semua berpihak dengan skenario yang disusun FS."

Azmi menilai, keadaan ini yang dijadikan hakim sebagai pertimbanganan untuk menentukan keringanan hukuman penjatuhan pidana bagi Bharada E. Di mana Bharada E berani bersuara menyampaikan kebenaranan dengan menerangkan kesaksiannya yang sebenarnya dalam tingkat penyidikan maupun di persidangan.

"Hal terpenting dari kasus penjatuhan pidana ini terhadap Bharada E ini juga merupakan pelajaran bagi anak buah untuk berani menolak perintah atasan yang tidak sesuai dengan perintah Undang undang," tegas dia.

Terkait dengan hukuman Richard 1,5 tahun yang dinilai sangat jauh dari tuntutan Jaksa, Azmi menilai hal itu bukanlah putusan ekstrem. Hakim mempertimbangkan agar hukum bisa tertata dan semua masyarakat siapa pun khususnya aparatur hukum bisa taat terhadap hukum yang rasa kemanusiaan dan keadilan.

"Jadi saya kira tidak langkah ekstrem. Ini jadi era baru bagi bawahan di mana anak buah akan mampu dan berani menolak perintah atasan apabila perintah tersebut bertentangan dengan hukum, sehingga putusan ini dapat menjadi yurisprudensi, sekaligus peringatan bagi para Perwira Tinggi maupun perwira menengah bahkan siapapun yang punya jabatan untuk menyadari tidak boleh memaksakan anak buahnya dalam tindakan yang salah termasuk menyalahgunakan jabatan atau sarana yang ada padanya. Jadi kasus FS ini termasuk penjatuhan pidana bagi Bharada E adalah sejarah dan Hikmah pembelajaran hukum buat semua," terang Azmi.

Sedangkan Pengamat kepolisian ISESS Bambang Rukminto menilai keputusan majelis hakim yang memvonis Richard Eliezer 1,5 tahun sudah tepat. Karena berkat Eliezer, kasus ini terbuka lebar dan masyarakat pun merasakan jasanya.

"Sepertinya dipertimbangkan juga oleh hakim, makanya memberi hukuman jauh di bawah tuntutan Jaksa. Dan ini juga tamparan bagi kejaksaan bagaimana tuntutan itu dijatuhkan seolah-olah suka-suka," dia menandaskan.

Adapun Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Iqbal Felissiano mengganggap wajar putusan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu 1,6 tahun jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 12 tahun penjara.

Menurutnya, walaupun terdakwa Eliezer dinyatakan bersalah namun hakim memutuskan melakukan pengurangan masa pidananya karena dianggap sebagai terdakwa yang bekerja sama dalam pengungkapan perkara.

“Putusan dengan penetapan yang bersangkutan sebagai Justice Collaborator (JC) bukan berarti yang bersangkutan tidak bersalah. Tetap dia diputus bersalah melakukan tindak pidana,” ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Rabu (15/2/2023).

Iqbal menegaskan, untuk menetapkan seorang sebagai JC majelis hakim pastinya sangat berhati-hati. "Hakim juga mempertimbangkan sejauh mana dia bekerja sama dalam mengungkap perkara tindak pidananya," ucapnya.

2 dari 3 halaman

Kata LPSK dan Keluarga Brigadir J

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),Edwin Partogi Pasaribu membeberkan hukuman terhadap Bharada E yang statusnya sebagai Justice Collaborator (JC). Dia mengatakan, ada tiga hukuman yang bisa dijatuhkan kepada Bharada E.

Pemidanaan seorang JC diatur tersendiri di dalam Pasal 10 A ayat 3 Undang-Undang Perlindungan saksi dan korban Nomor 31 tahun 2014.

"Itu bukan mau LPSK, itu perintah undang-undang. Tinggal lihat pidananya; pidana percobaan, pidana bersyarat khusus atau dipidana paling ringan diantara terdakwa lainnya. Itu sah karena undang-undang menyebut itu," kata dia saat dihubungi, Minggu (12/2/2023).

Edwin menyampaikan keberadaan Bharada E sebagai Justice Collaborator (JC) menguntungkan penyidik, jaksa dan hakim karena membuat terang peristiwa.

"Tanpa keberadaan Richard kita tidak akan menyaksikan Ferdy sambo sebagai tersangka, tidak akan pernah tahu Ferdy sambo sebagai pelaku utama dan tidak pernah terungkap adanya Obstruction of Justice," ujar Edwin.

Edwin mengatakan, sudah selayaknya Bharada E mendapatkan pidana paling ringan di antara terdakwa lainnya. Sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Hal ini, juga untuk memberikan kepastian jaminan hukum kepada seorang yang berstatus sebagai justice collaborator

"Jadi soal bahwa Bharada E terbukti terlibat pada perkara pembunuhan berencana, terbukti atau salah satu eksekutor itu satu hal yang tidak sepenuhnya mengabaikan bantuan dari Richard juga sebagai justice collaborator," ujar Edwin.

"Tapi harus dilihat bahwa terbuktinya peristiwa itu karena kontribusi dari Bharada E sebagai justice collaborator. Nah dalam konteks itulah negara merumuskan dalam undang-undang bahwa seorang yang berstatus yang sudah membantu pengungkapan perkara akan diberikan reward," dia menambahkan.

Edwin menerangkan, kini yang dilihat bukan lagi pada perbuatan pada konteks pemidanaan tetapi bantuan Bharada E dalam mengungkap perkara yang sulit pembuktiannya.

Sementara itu, Edwin menjelaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada tuntutan dinilai belum bisa membedakan antara peran Bharada E sebagai justice collaborator dengan peran Bharada E sebagai pelaku dalam peristiwa.

"Itu yang kemarin dikatakan jaksa sebagai dilema yuridis karena bharada E pelaku materil katanya. Itu yang tadi saya sampaikan bahwa soal Bharada E terbukti 340 KUHP atau 338 KUHP bahwa dia pelaku, salah satu eksekutor itu tidak apa-apa dinyatakan terbukti tetapi untuk pemidanaan, hukumannya sudah diatur tersendiri oleh undang-undang," ujar dia.

"Intinya bukan lagi disitu. Intinya ketika divonis adalah soal pemberian reward penghargaan kepada justice collaborator. Kalau dia dinyatakan sebagai pelaku dalam peristiwa, itu tadi jadi masalah. Kan posisi LPSK bukan minta dia agar dibebaskan," dia menandaskan.

Sedangkan Kuasa Hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak berharap agar majelis hakim dapat memberikan hukuman yang ringan kepada Bharada E. Ia menegaskan agak sulit untuk bebas dari hukuman.

"Untuk dibebaskan sih agak sulit ya, karena ini kan pembunuhan, merampas nyawa orang lain. Tetapi untuk kita memohon diperhatikan dia sebagai Justice Collaborator atau sebagai pihak yang berpihak kepada penegak hukum," kata Kamaruddin kepada wartawan, Selasa (14/2/2023).

"Biarlah majelis hakim memberi pertimbangan yang meringankan, karena merampas nyawa kalau bebas pun jadi kesan buruk di kebelakangan hari," sambungnya.

Harapan agar hukuman terhadap Bharada E diperingan, karena memang usianya yang dinilai masih sangat muda.

"Tetapi dia juga mau membunuh itu jangan salah lho, dia juga ada harapan, karena mohon maaf ya, mohon maaf sekali lagi buat masyarakat Indonesia, dia kan berasal dari keluarga yang sederhana enggak usahlah saya sebut miskin," ujarnya.

"Saya yakin belum pernah melihat uang satu miliar, karena dia sudah dijanjikan satu miliar, maka dia pun dengan yakin melaksanakan perintah itu, ternyata sekarang sudah membunuh tidak dapat juga satu miliarnya," tambahnya.

Selain itu, Kamaruddin bangga dengan Bharada E yang dinilainya sudah sesuai dengan komitmennya yakni membuka perkara itu secara terang benderang.

"Tetapi kita patut berbangga, mengangkat topi di usianya yang muda dia bertaubat dan dia komitmen dan dia sudah membuktikan komitmennya yaitu membuka perkara ini di persidangan dengan seterang-terangnya itu patut diapresiasi masyarakat Indonesia dalam dan luar negeri," ungkapnya.

"Termasuk emak-emak juga mendoakan dia, ngefans sama dia karena sikap dia yang jujur dan berterus-terang itu adalah sikap yang mulia yang harus kita junjung," pungkasnya.

.

  

3 dari 3 halaman

Dituntut 12 Tahun

Jaksa sebelumnya menuntut Richard Eliezer atau Bharada E dengan hukuman 12 tahun penjara. Jaksa menilai Bharada E terbukti secara sah terlibat kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumui dengan pidana dengan pidana penjara selama 12 tahun. Dan dipotong masa tahanan. Memerintahkan terdakwa tetap berada di masa tahanan," ujar jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).

Jaksa menilai Bharada E telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap Brigadir J. Dalam surat tuntutan, Bharada E dinilai melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Richard Eliezer Pudihang Lumui telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merampas nyawa secara bersama-sama," ujar Jaksa.

Sebelumnya, Bharada E didakwa melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Hal itu dilakukan bersama dengan Ferdy Sambo, Putri Candrwathi, Ricky Rizal atau Bripka RR dan Kuat Ma’ruf. Mereka didakwa terlibat dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan.

Dalam surat dakwaan jaksa menyebutkan, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. Atas perbuatan itu, mereka didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan hukuman paling berat sampai pidana mati.

Dalam pleidoinya, Richard Eliezer mempertanyakan harga dari sebuah kejujuran. Pada kasus ini, Bharada E menjadi justice collaborator yang disetujui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Apakah harga kejujuran harus dibayar 12 tahun penjara,” tutur Bharada E di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (25/1/2023).

Bharada E menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, serta pengampunan kepada keluarga dari almarhum Yoshua Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J.

"Tidak ada kata-kata lain yang dapat saya sampaikan selain permohonan maaf dan penyesalan mendalam atas apa yang telah terjadi kepada almarhum Bang Yos dan keluarga Bang Yos,” jelas dia.

Tidak ketinggalan, Bharada E juga meminta maaf kepada orang tua dan tunangannya. Tidak ketinggalan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

"Serta semua penyidik dalam perkara ini di mana sebelumnya saya sempat tidak berkata yang sebenarnya, yang membuat saya selalu merasa bersalah dan pertentangan batin saya, sehingga akhirnya saya dapat menemukan jalan kebenaran dalam diri saya untuk mengungkap dan menyatakan kejujuran,” Bharada E menandaskan.